Amalan Ketika Hujan (Bagian 03)
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Kita lanjutkan pembahasan amalan ketika hujan.
Kedelapan, Jangan Mencela Hujan
Sebagian orang merasa dirugikan ketika musim hujan. Tertuama mereka yang aktivitasnya dilakukan pada cuaca cerah. Memang benar, tidak semua yang terjadi di sekitar kita, sesuai dengan yang kita harapkan. Terkadang kita berharap langit cerah, namun Allah turunkan hujan. Dan sebaliknya. Namun apakah kehendak Allah harus bergantung kepada kehendak kita?.
Hati bisa saja sedih dengan kondisi tidak nyaman yang kita alami karena hujan. Namun jangan sampai kesedihan ini, menyebabkan anda menjadi murka dan marah dengan takdir Allah. Terlebih, jaga lisan baik-baik, jangan sampai mengeluarkan kata celaan terhadap hujan yang Allah turunkan.
Terkadang kita tidak sadar, ucapan kita bisa menjadi sebab diri kita tergelincir ke dalam neraka.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً ، يَرْفَعُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فِى جَهَنَّمَ
“Sesungguhnya ada seorang hamba berbicara dengan suatu perkataan yang mengundang ridha Allah, yang tidak sempat dia pikirkan, namun Allah mengangkat derajatnya disebabkan perkataannya itu. Sebaliknya, ada hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang membuat Allah murka dan tidak pernah dia pikirkan bahayanya, lalu dia dilemparkan ke dalam jahannam.” (HR. Ahmad 8635, Bukhari 6478, dan yang lainnya).
Mencela Hujan = Mencela Dzat Yang Memberi Hujan
Protes seorang hamba ketika Allah menetapkan taqdir, sejatinya dia protes kepada Allah. Tak terkecuali protes terhadap turunnya hujan. Dalam hadis qudsi, Allah ta’ala melarang kita mencela keadaan yang Dia ciptakan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, bahwa Allah Ta’ala berfirman,
يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ ، يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ ، بِيَدِى الأَمْرُ ، أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
“Manusia menyakiti Aku; dia mencaci maki masa (waktu), padahal Akulah adalah pemilik masa, Aku-lah yang mengatur malam dan siang.” (HR. Bukhari 4826, Muslim 6000, dan yang lainnya).
Dalil di atas berbicara tentang hukum mencela waktu. Kasus mencela hujan, tidak berbeda dengan mencela waktu.
Rician Hukum Mencela Hujan
Para ulama memberikan rincian hukum untuk kasus mencela waktu, hujan atau semacamnya.
Pertama, hanya sebatas memberitakan. Misalnya, seseorang mengatakan: ‘Sepatu saya rusak karena kehujanan.’ ‘Motor saya macet karena kehujanan.’
Kedua, mencela hujan dengan maksud mencela ketetapan dan takdir Allah. Misalnya, seseorang mengatakan, ‘Ini hujan, ngapain turun. Bikin tambah macet aja.’ ‘Sebel, hujan terus. Pagi-pagi sudah hujan.’
Celaan semacam ini termasuk perbuatan dosa, karena hakekatnya, dia mencela Allah.
Kesembilan, Berwudhu dengan Air Hujan
Allah ta’ala menyebut hujan sebagai air untuk bersuci.
Allah berfirman,
وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ
“Dialah yang menurunkan kepada kalian hujan dari langit yang mensucikan kalian.” (QS. al-Anfal: 11)
Allah juga berfirman,
وَهُوَ الَّذِي أَرْسَلَ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا
Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang bisa digunakan untuk bersuci. (QS. al-Furqan: 48).
Ibnu Katsir mengatakan,
أي: آلة يتطهر بها
(Makna Maa’an Thahura), alat untuk bersuci. (Tafsir Ibnu Katsir, 6/114).
Karena itulah, diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila ada aliran air hujan, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengannya.
كَانَ يَقُوْلُ إِذَا سَالَ الوَادِي ” أُخْرُجُوْا بِنَا إِلَى هَذَا الَّذِي جَعَلَهُ اللهُ طَهُوْرًا فَنَتَطَهَّرُ بِهِ “
Apabila air mengalir di lembah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Keluarlah kalian bersama kami menuju air ini yang telah dijadikan oleh Allah sebagai alat untuk bersuci”. Kemudian kami bersuci dengannya.” (HR. Baihaqi 3/359 dan dishahihkan dalam Irwa al-Ghalil no. 679).
Ibnu bi Hatim membawakan keterangan dari Tsabit al-Bunani,
دخلت مع أبي العالية في يوم مطير، وطرق البصرة قذرة، فصلى، فقلت له، فقال: { وَأَنزلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا } قال: طهره ماء السماء
Saya masuk kota Bashrah bersama Abul Aliyah di waktu cuaca hujan. Ketika masuk bashrah, kami terkena kotoran. Kemudian Abul Aliyah shalat. Sayapun menegurnya. Lalu beliau membaca firman Allah, (yang artinya), ‘Kami turunkan dari langit air yang bisa digunakan untuk bersuci’. Lalu beliau mengatakan, “Telah disucikan oleh air hujan.” (Disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya, 6/115).
Seperti itulah bagaimana respon para ulama terhadap ayat al-Quran yang Allah turunkan. Mereka mempraktekkannya dalam kehiupan sehari-hari.
Ibnu Qudamah mengatakan,
ويستحب أن يتوضأ من ماء المطر إذا سال السيل
“Dianjurkan untuk berwudhu dengan air hujan apabila airnya mengalir.” (al-Mughni, 2/295)
Kesepuluh, Kalimat Adzan Khusus ketika Hujan
Bagi kaum pria, shalat jamaah di masjid merupakan syiar mereka. Kecuali pria yang ingin menjadi lelaki solihah, shalat wajib dikerjakan di rumah.
Hanya saja ketika turun hujan, mereka diizinkan untuk shalat di rumah. Karena hujan menjadi udzur baginya. Karena itu, bagi muadzin yang mengumandangkan adzan di tengah derasnya hujan, dia dianjurkan untuk mengucapkan,
صَلّوْا فِي بُيُوتِكُـمْ
“Shalatlah di rumah kalian”.
Kalimat ini menggantikan ‘Hayya ‘alas Shalah’
Dari Abdullah bin Harits, bahwa Ibnu Abbas memerintahkan muadzin ketika suasana hujan,
إِذا قلتَ أشهد أنَّ محمداً رسول الله فلا تقُل: حيَّ على الصلاة، قل: صلّوا في بيوتكم
Jika kamu telah selesai mengumandangkan ‘Asyhadu anna muhammadar rasulullah’, jangan ucapkan ‘Hayya ‘alas shalah’. Tapi ucapkanlah: ‘Shallu fii buyutikum’.
Mendengar ini, banyak orang merasa aneh dan mengingkari nasehat Ibnu Abbas. Kemudian beliau mengatakan,
فعَله من هو خيرٌ منّي، إِنَّ الجُمعة عَزمةٌ، وإنِّي كرهتُ أن أحرجكم فتمشون في الطين والدَّحْض
Ini pernah dilakukan oleh orang yang lebih baik dari pada aku (Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Sesungguhnya jumatan itu kewajiban, dan saya tidak ingin memberatkan kalian, sehingga harus berjalan di tanah becek dan lumpur. (HR. Bukhari 901).
Atau bisa juga dengan mengumadangkan,
صلوا في رحالكم
“Shalatlah di tempat kalian”
Kalimat ini dibaca seusai Hayya ‘alal Falah.
Dari Nuaim bin an-Naham Radhiyallahu ‘anhu, mengatakan,
سمعت مؤذن النبي – صلى الله عليه وسلم – في ليلة باردة وأنا في لحاف فتمنيت أن يقول: صلوا في رحالكم، فلما بلغ حي على الفلاح، قال: صلوا في رحالكم، ثم سألت عنها فإذا النبي – صلى الله عليه وسلم – كان أمر بذلك
Saya mendengar muadzin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam yang sangat dingin, sementara aku sedang memakai selimut, maka saya berharap dia mengumandangkan, ‘Shalluu fii rihalikum.’ Ketika sampai pada Hayya ‘alal Falah, muadzin mengumandangkan, ‘Shalluu fii rihalikum.’ Akupun bertanya kepada Muadzin, dan ternyata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyuruhnya. (HR. Ahmad 18098, dan Abdurrazaq dalam Mushannaf 1925)
Kesebelas, Doa Seusai Hujan
Doa ini menggambarkan rasa syukur kita kepada Allah, atas hujan yang telah Allah turunkan. Karena itu, doa ini menjadi lambang ketauhidan seseorang kepada Allah. Doa itu adalah
مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ
Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah
Dari Zaid bin Kholid al-Juhani, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat shubuh bersama kami di Hudaibiyah, setelah hujan turun pada malam harinya. Tatkala hendak pergi, beliau menghadap ke jamaah, lalu bersabda,
هَلْ تَدْرُونَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ
“Apakah kalian mengetahui apa yang dikatakan Rabb kalian?”
Jawab para sahabat, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِى مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ. فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا. فَذَلِكَ كَافِرٌ بِى مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ
“Pada pagi hari, di antara hamba-Ku ada yang beriman kepadaKu dan ada yang kafir. Siapa yang mengatakan ‘Muthirna bi fadhlillahi wa rohmatih’ (Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah), maka dia beriman kepadaku dan kufur terhadap bintang-bintang. Sedangkan yang mengatakan ‘Muthirna binnau kadza wa kadza’ (Kami diberi hujan karena sebab bintang ini dan ini), maka dialah yang kufur kepadaku dan beriman pada bintang-bintang.” (HR. Bukhari 486, Muslim 240 dan yang lainnya)
Anda bisa perhatikan, Allah membanggakan orang yang membaca doa di atas ketika usai hujan. Karena doa ini melambangkan rasa syukur kepada Allah, dan menyandarkan nikmat kepada Allah. Bukti bahwa dia adalah orang yang mengagungkan Allah.
Syirik ketika Hujan
Kebalikan dari sikap di atas, menyandarkan hujan kepada selain Allah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai sikap kekufuran. Lantas kapan terhitung sebagai kekufuran?
Ibnu Rajab menjelaskan,
فإضافة نزول الغيث إلى الأنواء، إن اعتقد أن الأنواء هي الفاعلة لذلك، المدبرة له دون الله عز وجل، فقد كفر بالله، وأشرك به كفرا ينقله عن ملة الإسلام، ويصير بذلك مرتدا، حكمه حكم المرتدين عن الإسلام، إن كان قبل ذلك مسلما. وإن لم يعتقد ذلك، فظاهر الحديث يدل على أنه كفر نعمة الله. وقد سبق عن ابن عباس، أنه جعله كفرا بنعمة الله عز وجل.
Menyandarkan turunnya hujan kepada rasi bintang, ada 2 keadaan
- Jika dia meyakini bahwa rasi bintang itu yang menurunkan hujan, yang mengatur hujan, dan bukan Allah, maka dia telah kufur kepada Allah, menyekutukan Allah. Dia melakukan kekufuran yang menyebabkannya keluar dari islam. Sehingga dia menjadi murtad. Statusnya sebagaimana orang yang murtad dari islam, jika sebelumnya dia muslim.
- Namun jika dia tidak meyakini demikian, dzahir hadis menunjukkan bahwa dia kufur nikmat. Dan telah disebutkan keterangan dari Ibnu Abbas, bahwa beliau menilai perbuatan ini sebagai kufur kepada nikmat Allah ‘azza wa jalla.
(Fathul Bari, 9/260)
Allahu a’lam.
Baca:
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/23840-amalan-ketika-hujan-bagian-03-selesai.html